Posted by : Unknown Sabtu, 13 Februari 2016

13 Februari 2016.

Saat aku berjalan melewati kelas VII-J, seseorang menegurku. "Kunci kelas kita di mana?" ujarnya tanpa menyapaku. Lelaki yang kukenal karena merupakan teman sekelasku itu berdiri di depan kelas VII-J yang bukan kelas kami.

"Nggak tahu. Yang terakhir keluar kelas bukan aku," jawabku. Kami berdua berjalan ke kelas VII-K. Sempat kulirik jam tangan yang kupakai. Sudah jam setengah tujuh lewat. Dan murid kelas aksel angkatan 13 baru aku dan lelaki yang biasanya disapa Rizqi ini yang datang.

Ketika kami sampai di depan kelas, aku berusaha meninggikan badan, melihat ke arah ventilasi yang berada di atas pintu kelas yang terkunci. "Nggak ada," gumamku. Biasanya, kunci gembok kelas diletakan di situ. Tapi sekarang, entahlah. "Dibawa Bertha, nggak, kuncinya?" ujarku. Rizqi hanya mengangkat bahu.

"Di labor, nggak? Di tempatnya Sir Zaryanto," kata Rizqi.

"Mungkin. Coba aja cari di sana." Aku dan Rizqi berjalan meninggalkan kelas. Tepat saat kami mau menuju laboratorium, Ikhwan dan Fahri datang di saat yang bersamaan. "Fahri, Ikhwan! Kunci kelas kita di mana?" tanyaku.

"Nggak tahu. Bukan aku yang terakhir keluar," ujar Ikhwan. "Di bawa Bertha, nggak? Atau di labor?" Sudah kuduga, dia pasti akan menjawab seperti itu.

"Ayo, Wan, kita cari di labor!" seru Rizqi. Mereka berdua berjalan menuju labor.

"Ikut!" seruku sambil menyusul langkah mereka.

Ikhwan dan Rizqi menoleh. "Kau di situ aja, Ga. Kan, ada Fahri," ujar Rizqi.

Aku menggeleng sambil tetap mengikuti langkah mereka. "Nggak mau. Dia kanibal," kataku. Tentu saja yang kukatakan itu adalah bohong. Lelaki dengan tinggi 160-an lebih itu tidak mungkin makan orang. Dia masih normal.

Ketika sampai di depan labor, Rizqi melepas sepatunya dan masuk ke dalam. "Kata Sir Zar, kuncinya digantung di kalender," ujarku memberitahu.

Rizqi mengintip ke dalam labor. Dia menoleh ke arahku. "Kalender yang mana?" tanyanya. Dia melangkah keluar. "Kau aja yang tanya Sir Zar!" ujarnya.

"Ehh... masa harus aku?" keluhku. Aku membuka sepatuku dan berjalan masuk ke dalam labor. Aku menghampiri Sir Zaryanto yang sedang duduk di depan meja beliau yang penuh dengan buku-buku IPA. "Sir, kunci kelas kami di mana?" tanyaku.

"Lho, bukannya dengan Bertha?" ujar Sir Zaryanto.

"Ohh... dengan Bertha, ya, Sir?" kataku. Saat itu juga, Rizqi ikut masuk ke dalam labor. "Kuncinya dengan Bertha, Qi," ujarku. Dugaanku benar, kuncinya dibawa Bertha. "Makasih, ya, Sir," ujarku. Aku dan Rizqi menyalami Sir Zaryanto, kemudian pergi dari labor.

Saat sedang memakai sepatu, aku sadar bahwa Ikhwan sudah tidak ada di antara kami. Tapi, sudahlah. Itu bukan hal yang penting.

Di depan kelas, sudah ada Syahirah, bersama dengan Ikhwan dan Fahri. "Kata Sir Zaryanto, kuncinya dibawa Bertha," ujarku, memberitahu mereka.

Ketika aku sedang melihat sekeliling, Vanya, seorang gadis berbehel yang lumayan dekat denganku sedang berjalan menuju kelas kami. "Vanchuuu...!" seruku. Gadis yang biasanya kupanggil Vanchu itu tersenyum. "Kelas kita dikunci. Kuncinya dibawa Bertha," ujarku. Aku merangkulnya dari depan. "Nggak ngucapin apa-apa ke aku?" tanyaku.

Vanya seperti teringat sesuatu. "Oh, iya!" Senyumnya mengembang. Dia balas merangkulku. "HBD, ya!"

Ya, hari ini, adalah hari ulang tahunku. Kuharap, mereka mengingatnya. Karena ini adalah ultah pertamaku di SMP, bersama dengan teman-teman baru dari asal SD yang berbeda.

***

"Vanchu... ke kelas, yuk! Nggak enak, nih, kita nggak ikut bersih-bersih kelas. Nanti kita dimarahin Bertha," ujarku. Saat ini, aku dan Vanya sedang melakukan kegiatan yang tidak bermutu, mengelilingi sekolah, dan kami mengulanginya berkali-kali.

"Ehh... daripada kita disuruh-suruh, Ga," kata Vanya. Ucapan Vanya tadi ada benarnya. Akhirnya, kami kembali mengulangi kegiatan tidak bermutu ini.

Setelah kami berdua sama-sama merasakan kelelahan, Aku dan Vanya kembali ke kelas. Kelas sudah sangat bersih. Saat kami berpapasan dengan Bertha, dia sama sekali tidak memarahi kami. Dia hanya diam, sambil tetap membersihkan teras depan kelas.

Itu membuatku bersyukur, karena tidak dimarahi olehnya. Tapi, kalau dipikir-pikir, ini tidak seperti Bertha yang biasanya. Dan Vanya juga tidak pernah mengajakku untuk kabur dari kegiatan bersih-bersih kelas. Ah, sudahlah. Itu tidak penting.

***

Oke, kurasa mereka lupa hari ultahku. Selain Vanya, mereka sama sekali tidak memberi ucapan HBD atau sejenisnya. Terlebih lagi, seharian aku sama sekali dianggap tidak ada oleh mereka. Mereka menjauhiku, seakan aku bukan kenalan mereka.

Lelah sekali hari ini. Aku disuruh oleh Dina untuk menemui Bunda Rubi, wali kelas sekaligus guru Bahasa Indonesia kami. Katanya ada yang ingin dibicarakan mengenai study tour. Aku kan, tidak ikut study tour. Jadi, apa yang perlu dibicarakan? Aku hanya menuruti perintahnya. Bersama Alifa dan Tiara, kami mencari Bunda Rubi. Ketika bertemu Bunda Rubi di depan tangga lobby sekolah, beliau seakan tidak tahu kalau aku harus menemui beliau.

Oke, naik-turun tangga lobby sekolah yang panjang itu saja sudah sangat melelahkan. Setelah itu, aku dimintai tolong oleh Bunda Rubi untuk mengambil buku Bahasa Indonesia dari perpustakaan. Aku harus naik tangga lagi menuju perpustakaan. Kemudian buru-buru turun dan berlari menuju kelas.

"Kenapa?" tanyaku ketika sampai di depan kelas. Kulihat, Dina dan Tiara berdiri di depan kelas. Pintu kelas tertutup. Kupikir, pelajaran sudah dimulai dan kami tidak diizinkan masuk. Aku tidak mendengar suara apa-apa dari dalam kelas. Sepi. Dari celah pintu kelas kulihat gelap sekali. Apa listriknya sedang mati?

Aku mengetuk pintu kelas dengan pelan, berharap ada yang membukanya. Aku mundur sedikit ketika mendengar suara pintu yang akan dibuka. Tiba-tiba, kulihat dua cahaya lilin di depan mataku.

"HBD Egaaa...!!" Seruan itu memenuhi ruang kelas. Bertha berdiri dihadapanku sambil memegang sebuah kue black forest berbentuk lingkaran dengan lilin angka 13 di atasnya. Mereka semua berdiri di depanku, menyambut kedatanganku yang sedang sangat terkejut ini.

Spontan, aku menangis. Aku terharu. Aku belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Ini sangat berkesan!

Aku mendengar penjelasan dari Dina. Mereka pernah meminta sumbangan uang dari kami semua, termasuk aku, untuk membeli kue black forest itu. Syahirah mengusulkan agar aku juga diminta sumbangan supaya aku tidak curiga. Tapi mereka memakai alasan yang berbeda kepadaku. Mereka bilang, itu sumbangan untuk beli keperluan kelas. Tentu saja, saat itu aku ikut menyumbang uang, karena mereka memakai alasan itu.

Mengingat hal itu, aku merasa terharu. Bahkan, anak laki-laki di kelasku juga ikut menyumbang untuk beli kue itu. Padahal, aku merasa tidak terlalu akrab dengan mereka. Sekarang, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk membalas kebaikan mereka.

Thank you, my unbiological-sisters and my unbiological-brothers. 
Aku sayang kalian.
















- Hasna Gahayu F.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~

Popular Post

Labels

~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~"~

Copyright © @hasnagahayu.febriyanti_ -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan